Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Konflik Ukraina
Presiden Rusia, Valdimir Putin (gambar; sputniknews).

Vladimir Putin Sebut Akar Konflik Ukraina Karena Barat Melawan Geopolitik Rusia



Berita Baru, Internasional – Rusia terbuka untuk berdialog dengan semua pemangku kepentingan mengenai penyelesaian konflik damai di Ukraina, tetapi sejauh ini mereka menolak untuk bernegosiasi, kata Presiden Rusia Vladimir Putin pada Minggu (25/12).

“Kebijakan lawan geopolitik kami, yang bertujuan untuk memecah belah Rusia, adalah akar dari konflik Ukraina,” kata presiden Rusia tersebut.

Seperti dilansir dari Sputnik News, Putin juga menambahkan bahwa Rusia siap bernegosiasi dengan semua pemangku kepentingan dalam krisis geopolitik.

“Kami siap untuk bernegosiasi dengan semua peserta dalam proses ini (konflik di Ukraina) mengenai beberapa resolusi yang dapat diterima, tetapi itu adalah urusan mereka. Merekalah dan bukan kami yang menolak untuk bernegosiasi,” kata Putin.

Putin juga mengatakan bahwa bangsanya melakukan hal yang benar di Ukraina.

“Saya pikir kami bertindak ke arah yang benar: kami melindungi kepentingan nasional kami, kepentingan warga negara kami, rakyat kami. Dan kami tidak punya pilihan selain melindungi warga negara kami,” kata Putin.

Rusia melancarkan operasi militer khusus pada 24 Februari, untuk membela rakyat Lugansk dan Donetsk, yang menderita akibat serangan Ukraina. Negara-negara Barat mulai meluncurkan paket sanksi terhadap Rusia dan memberi Kiev bantuan kemanusiaan, militer, dan keuangan. Moskow mengkritik aliran senjata ke Ukraina dari negara-negara Barat dan menyebut hal tersebut hanya memperkuat konflik.

Pada saat yang sama, Kiev melancarkan serangkaian serangan teroris di wilayah Rusia, termasuk ledakan fatal di jembatan Krimea, yang ditanggapi Moskow dengan serangan presisi terhadap target infrastruktur Ukraina. Akibatnya, selama beberapa bulan terakhir, sirene serangan udara secara teratur terdengar di seluruh Ukraina, dengan Kiev mengatakan bahwa hingga 50% jaringan energi negara itu rusak.